Karma Mengikat Karma Membebaskan


KARMA MENGIKAT KARMA MEMBEBASKAN

Drs. Ida Bagus Pudja
Pada Hari Minggu kemarin saya memiliki waktu luang, iseng-iseng menata kembali beberapa koleksi buku agama yang saya miliki. Secara tak sengaja sebuah buku kecil dengan cover warna hijau muda agak lusuh terjatuh, setelah saya ambil ternyata buku lama yang saya dapatkan sewaktu kuliah di Yogya berjudul KARMA MENGIKAT KARMA MEMBEBASKAN ditulis oleh Bapak Drs. IdaBagus Pudja . Pada waktu itu beliau menjabat sebagai Kepala Bidang Bimas Hindu Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.Setelah saya baca kembali akhirnya saya memutuskan untuk memposting pada blog ini.Tulisan ini sebenarnya adalah naskah siaran mimbar Agama Hindu di TVRI Yogyakarta tanggal 15 Oktober 1985, kemudian diterbitkan sebagai naskah pembinaan umat. Selengkapnya tulisan itu adalah sebagai berikut.Para penonton yang kami kasihiPada malam hari ini kami ingin menyampaikan beberapa anggapan yang pernah kami dengar baik yang berasal dari kalangan umatHindu sendiri maupun yang berasal dari pengamat Hindu.

Diantara anggapan itu yang perlu kami ketengahkan kehadapan anda antara lain : yang pertama, mengenai kepercayaan tentang adanya Hukum Karma. Ada yang berpendapat bahwa kepercayaan itu menyebabkan orang hidup pesimis. Katanya karena karma di masa lampau sudah mengikat diripribadi orang , maka kerja tak mempunyai arti lagi . Toh jika bekerja tak akan ada hasilnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa kespercayaan akan adanya hukum karma menyebabkan orang akan menyerahkan dirinya bulat-bulat kepada nasib. Yang kedua , menginai reinkarnasi. Ada yang beranggapan dan menyatakan bahwa karena adanya hidup yang bersiklus, makaHidu tidak mengenal tujuan hidup. Bahkan hidup itu sendiri tak pernah disyukuri. Itulah antara lainanggapan yang berkembang di masyarakat.

Pernyatan-pernyataan itu menimbulkan pertanyaan di antara kita. Betulkah karma itu mengajarkan orang menjadi pesimis? Benarkah tindakan orang yang menghentikan kerja atau menyerahkan diri bulat-bulatkepada nasib semata-mata kaeran ia paercaya bahwa ia telah diikat olehkarma buruk di masa lampau?Benarkah bahwa hidup sekarang ini tidak ada tujuan? Apakah karena percaya akan adanya tumimbal lahir , msengharuskan orang tidak perlu mensyukuri hidup ini?

Saudara penonton yang kami kasihi , ijinkan kami menyampaikan ilustrasi sedikit, sebelum menjelaskan permasalahan tadi.

Saudara penonton,

Sampai saat ini ada kesulitan bagi kita untuk mrnggolonkan secara tepat yang benar dan apa yang salah. Sepanjang sejarah batasan kita mengenai benar dan salah selalu berubah. Dalan satu kurun sejarah timbul bermacam-macam kebudayaan dengan batasa dan pengelompokan yang berbeda-beda.Generasi yang berbeda dari satu bangsa msempunyai pandangan yang berbeda mengenai benar dan salah. Bila kita melihat dalam diri sendiri ternyata pikiran kita juga selalu berubah. Pada masa kanak-kanak pengertian kits tentang benar dan salah sama tingginya. Masa remaja pengertian benar dan salah itu berubah dan setelah dewasa berubah lagi. Keputusan yang kita ambil saaat budi kita tidak diselubungi kabut, kita dapat mengambil keputusan yang khusus. Setelah dipengaruhi oleh kata-kata orang lain , penilaian budi kita goyah. Kita tidak meyakini lagi penilaian budi kita ketika pagi hari. Ketika malam tiba pikiran kita berubah lagi dan kita memikirkan sesuatu yang sama sekali berbeda dengan yang kita pikirkan tatkala pagi-pagi. Karena itu mungkinkan kita dapat mencapai suatu titik yang memungkinkan kita dapat mengetahui dengan pasti apa yang benar dan salah?

Kitab Suci Hindu memberi ukuran yang sederhana yang dapat kita gunakan untuk menganalisa/mengetahui anggapan yang benar atau yang salah. Sebagai pegangan untuk menjelaskan permasalahan tadi kami berpegang pada Bhagawadgita XVI.24 yang berbunyi :

    “KARENA ITU BIARLAH KITAB-KITAB SASTRA MENJADI PETUNJUKMU, UNTUK MENENTUKAN YANG HARUS DIKERJAKAN DAN TAK PATUT DIKERJAKAN, DAN MENGETAHUI APA YANG TERUMUSKAN DALAM AJARAN KITAB SASTRA INI”

Para penonton yang kami kasihi !

Untuk menjawab permasalahan tadi, kami akan menggunakan petunjuk kitab suci dan sastra-sastra Hindu lainnya. Dan ayat-ayat kitab suci itu kita mencari pemahaman, apa yang dirumuskan di dalam kitab suci dan sastra-sastranya, serta apa yang patut dikerjakan dan mana yang patut dihindari.

Marilah kita membahas satu demi satu permasalahan yang kami kemukakan tadi. Kita bicarakan terlebih dahulu tentang hukum karma. Menurut keyakinan Hindu hukum karma itu bukanlah dimaksudkan untuk mendorong orang agar menjadi pesimis melainkan mendorong orang agar optimis dan penuh kesadaran.
Memang ada orang pesimis berpikir “apapun yang terjadi atas diriku sekarang, adalah akibat dari perbuatanku dulu,, untuk semua itu aku tidak bisa berbuat apa-apa. Hal ini ada benarnya, karena ada rasa toleran dan rasa menerima yang mungkin sekali tidak dimiliki sebelumnya. Tetapi kita jangan lupa, hukum karma menyatakan : bahwa jika kita melakukan perbuatan baik kita akan menciptakan masa depan menuju arah yang kita kehendaki. Kita tidak diperbudak oleh nasib, melainkan pengertian kita akan karma menyebabkan kita menciptakan nasib sendiri. Kita memilih nasib yang kita kehendaki. Bahkan kita dapat memberikan ilham kepada orang lain agar memilih nasibnya rnelalui perbuatan serta teladan yang baik.

Karma disebut sebagai bibit. Satu bibit yang kecil dapat menghasilkan buah yang berlimpahruah. Demikian pula halnya dengan perbuatan, tindakan, kerja (karma) itu. Dalam ajaran Hindu memang diakui bahwa hidup manusia sekarang ini adalah untuk menikmati buah karmanya di masa Iampau dan mempertanggungjawabkannya. Karma dimasa lampau melilit diri kita dan kita harus bertanggungjawab akan hal ini. Memang kita tidak bisa melarikan diri dari ikatan karma, namun tidak harus menjadi pesimis. Kita harus optimis bahwa karma yang mengikat-Karma yang akan membebaskan;Beban karma yang buruk dimasa lampau akan bisa dihapuskan oleh karma yang baik.

Sathya Sal Baba Bersabda :
“Waktu-waktu yang lampau memang telah sirna kau gunakan dengan kesalahan-kesalahan sehingga bertukar menjadi beban. Akan tetapi saat ini dan waktu yang akan datang mungkin menjadi milikmu bila engkau gunakan secara bijaksana, atau mungkin malah hilang sama sekali jika engkau menyianyiakannya”.

Kita dilahirkan untuk melakukan perbaikan-perbaikan dan bukan untuk melewatkan waktu dengan bermalas-malas. Cobalah bayangkan, jika sepuluh persen saja jumlah umat Hindu yang tidak melakukan kegiatan atau bekerja maka umat Hindu akan merupakan beban bagi saudaranya yang lain. Dan hal ini tentu berlawanan dengan yang diperintahkan dalam kitab suci.

      “BEKERJALAH SEPERTI YANG TELAH
      DITENTUKAN SEBAB BEKERJA LEBIH
      BAlK DARIPADA TIDAK BEKERJA BAHKAN TUBUHPUN TIDAK BERHASIL
    TERPELIHARA, (JIKA) TANPA BEKERJA” (BG 111 8).

Untuk memelihara tubuh kita wajib bekerja dan tubuh yang terpelihara akan dapat digunakan untuk sarana mencapai artha, kama dan moksa. Lebih-lebih pada masa pembangunan in Kita sangat membutuhkan orang yang cinta akan kerja dan rindu kepada persembahan. Maka bekerja lebih baik daripada tidak bekerja.
Selanjutnya pada. Bhagawadgita 111.4 ditegaskan lagi

      “TANPA KERJA ORANG TIDAK AKAN
      MENCAPAI KEBEBASAN, PUN JUGA
      TAK AKAN MENCAPAI KESEMPURNAAN,
    KARENA MENGHINDARI KEGIATAN KERJA”.

Kita tidak bisa membebaskan diri dan lillitan buah karma hanya dengan nongkrong; pun kita tidak bisa mencapai kesempurnaan bila kita menghindari kerja. Andaikata kita bisa hidup dari bunga uang yang tersimpan di Bank untuk mencukupi kebutuhan keluarga kita untuk waktu yang cukup panjang, toh kita tidak bisa berhenti bekerja, walaupun untuk sesaat jua, karena sudah dipaksa oleh hukum alam untuk bertindak.

Masalah karma bukanlah sekedar mengerti tentang teori karma, tetapi memperhatikan beban karma yang kita pikul.
Pemikiran yang perlu kita kembangkan agar karma dapat membebaskan :

Pertama, apa yang dapat kita lakukan untuk memastikan bahwa kita tidak menambah beban karma yang negatif.

Pemikiran yang kedua yaitu, apa yang dapat kita lakukan untuk mengurangi beban karma.

Pemikiran yang ketiga, dapatkah kita melakukan suatu karma yang selalu memberikan hasil yang sangat besar. Suatu kekayaan atau rejeki besar bagi masa depan?.

Saudara penonton!
Menurut pendapat kami, hal inilah yang perlu kita tanamkan di hati sanubari kita sehingga kita dapat ambil bagian dalam pembangunan bangsa dan negara.

Para penon ton!
Mari kita lanjutkan pembicaraan ini untuk menanggapi adanya pernyataan bahwa dalam Hindu tak dikenal adanya tujuan hidup. Bahkan hidup inipun tak pernah disyukuri.
Untuk menanggapi pernyataan ini kami kutipkan ayat Sarasamuscaya ayat 2 yang berbunyi sebagai berikut

      “DI ANTARA DEMIKIAN BANYAK MAKHLUK HIDUP (HANYA) YANG
    DILAHIRKAN SEBAGAI MANUSIA SAJALAH YANG DAPAT MELEBUR PERBUATAN YANG BURUK KE DALAM PERBUATAN YANG BAlK”.

Tujuan hidup dapat dikatakan tergantung dan cara kita menangani dan memanfaatkan. Pada ayat tadi ditekankan agar manusia yang hidup melebur perbuatannya yang kurang baik dengan perbuatan baik. Ini juga berarti Karma buruk yang mengikat harus dibebaskan dengan karma baik.
Dalam adagium Hindu disebutkan bahwa tujuan hidup ini adalah untuk mencapai kebahagiaan batin dan kesejahteraan lahir yang dilandasi dharma. Jika kita menyalahgunakan dengan melanggar yaitu dengan merendahkan kemuliaan kita sebagai manusia dan melakukan kejahatan, maka tidaklah mungkin bagi kita untuk mencapai sesuatu yang berharga sebagai tujuan hidup. Hidup harus menuju pada pemenuhan segala macam yakni: physik, mental dan spiritual. Dan manusia mempunyai kesanggupan yang besar dan mulia.

Dalam ajaran Hindu kita dianjurkan untuk mensyukuri hidup ini, seperti disebutkan Sarasamuqcaya ayat 3.

      “KARENANYA JANGANLAH BERSEDIH
      HAT!, MESKIPUN HIDUP TIDAK MAKMUR, KELAHIRAN MENJADI MANUSIA
      ITULAH HENDAKNYA YANG MENJADIKAN HATIMU BESAR, SEBAB SUNGGUH
    AMAT SULIT MENJILMA MENJADI MANUSIA MESKIPUN SEBAGAI CANDALA SEKALIPUN”.

Kita dianjurkan agar jangàn menyia-nyiakan kehadiran di dunia ini dengan bersedih hati atas hal-hal yang sudah lewat, melainkan kita diwa jibkan bersyukur dilahirkan menjadi manusia, karena kesempatan hidup menjadi manusia inilah memungkinkan kita membebaskan ikatan Karma.

Itulah para penonton, yang dapat kami sampaikan pada mimbar ini, mudah-mudahan ada manfaatnya.
Selamat malam.

Yogyakarta, 15 Oktober 1985.

2 responses to “Karma Mengikat Karma Membebaskan

  1. “akarma”=penganggur) darimana anda dapat tafsir tentang akarma seperti itu? akarma yang tertuang didalm weda adalah bekerja sebagai tidak bekerja. bekerja tanpa mengharapkan imbalan, kerja sebagai persembahan. akarma inilah yang paling tinggi. bukan pengangguran seperti yang andA katakan

  2. Terima kasih koreksinya, tulisan ini admin upload dari buku sebagaimana admin sampaikan di awal tulisan. Admin sependapat dengan konsep anda, justru akarma adalah karma tertinggi karena berkerja tanpa terikat pada pahalakarma. Sy mengupload tulisan ini karena setuju pada konsep pemikiran bahwa karena karma kita terikat tetapi juga kita dapat membebaskan diri melalui karma. Agar tidak memberikan pemahaman yang keliru, bagian pengelompokan karma saya hapus. Mohon maaf atas keteledoran saya kurang koreksi naskah sebelum diaupload. Sekali Lagi terima kasih

Leave a comment